Senin, 03 September 2007

Pedestrian di Metropolitan yang semakin terpinggirkan...


Sudirman Square, dimana para pekerja kantoran, mahasiswa, atau siapapun yang sering berada di sekitar tempat tersebut tentunya sangat dikenal dan memberikan nuansa kenyamanan tersendiri dibandingkan dengan tempat lainnya. Tidak heran, karena tempat seperti ini sangat jarang dikembangkan di Jakarta. Kebanyakan pengembang di Indonesia menempatkan motif bisnis sebagai pertimbangan yang sangat rasional dibandingkan dengan motif lainnya. Apalagi di area ini yang sangat mahal, mungkin termasuk area yang paling mahal di Indonesia. Sebuah ruang yang lapang, santai dan memberikan rasa humanis bagi para penikmatnya.
Ruang terbuka yang berlokasi di depan Bank Danamon ini, pada sore hari selalu dipenuhi oleh beragam manusia, mulai dari pekerja kantoran yang yang duduk dengan nyaman dan tidak terlalu terburu-buru untuk pulang karena tempatnya cukup nyaman, sembari menunggu bis kota, tukang ojek yang menanti penumpang, penjual gorengan, penjual minuman, mahasiwa yang sedang mendiskusikan entah apa, mungkin ada juga segelintir copet yang sedang mencari mangsa, hingga para penikmat sore hari yang kekadar kongkow-kongkow dan berharap ada cowok atau cewek yang melirik mereka. Bagi saya, dan tentunya bagi banyak orang yang pernah merasakan suasana Sudirman Square, tentunya ada nuansa yang hilang tatkala ruang seperti ini tidak ada lagi. Sebagaimana pertama kali sewaktu berdiri di sana, saya langsung terkesan dan berpikir “inilah yang kita butuhkan sebagai bagian dari komunitas urban. Sebuah ruang terbuka dimana setiap orang dapat mengekspresikan dirinya dan berinteraksi dengan setiap orang lainnya.” Pada waktu itu ada seorang mahasiwa yang berkata pada temannya, “kayaknya kalo kita bikin happening art di sini, pasti asyik deh.” Dia menambahkan bahwa mereka sudah lama tidak sering menggelar happening art, terutama karena tidak ada ruang yang kondusif untuk itu. Mendengar perbincangan itu saya tertarik dengan recana mereka dan pada hari-hari selanjutnya saya menunggu kapan mereka merealisasikan rencana mereka untuk menggelar happening art atau entah apa lagi yang mereka rencanakan. Namun dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, ternyata apa yang saya tunggu tidak pernah hadir. Entah apa sebabnya. Sungguh disayangkan sebenarnya, jika saja pagelaran-pagelaran gratisan dan kreatif serupa itu dapat terus berjalan secara rutin hal ini tentu akan memberikan nilai tambah bagi Sudirman Square sebagai sebuah ruang publik terbuka. Dan juga akan menyenangkan bagi para penunggu bis kota, tukang-tukang ojek, pedagang-pedagang dan para tukang kongkow-kongkow karena akan mendapatkan hiburan gratis setelah lelah menjalankan kepenatan aktivitas masing-masing sepanjang hari. Dan bagi para ‘pencinta kreativitas’ yang terpinggirkan, ruang tersebut dapat digunakan sebagai panggung ekspresi dan kreasi bagi aktivitas berkesenian mereka. Sudirman Square akan semakin berwarna.Di tengah himpitan beban kota yang semakin besar, ruang-ruang publik terbuka serupa itu merupakan wilayah relaksasi yang dibutuhkan bagi sebagian besar kaum urban. Karena ia terletak di tengah kota dan tidak membutuhkan biaya besar untuk menikmatinya. Sehingga dapat dikatakan ia bersifat anti-diskriminasi, dapat dinikmati siapa saja. Namun sayangnya, perspektif demikian tidak dimiliki oleh pemerintah kota Jakarta. Ruang-ruang publik terbuka seperti ini sangat sulit dijumpai di Jakarta.
Sampai akhirnya, setelah saya tidak lama menyambangi area ini, suatu ketika saya melewati tempat ini ternyata kondisinya telah jauh berubah. Area itu sudah menjadi tertutup, karena akan digunakan sebagai area pengembangan bisnis, oleh perusahaan HMSP yang saat ini dimiliki oleh Philips Morris. Dan sekali lagi, kita telah kehilangan sebuah ruang yang biasa kita gunakan untuk banyak hal. Tapi hal tersebut tidak lantas membuat kita putus asa karena kehilangan hal itu, karena (semoga) akan muncul ruang-ruang lain yang memang selalu kita butuhkan.

Tidak ada komentar: