Senin, 31 Maret 2008

Pelajaran dari sebuah Novel


Dua hari ini menamatkan dua buah novel yang sedang mega best-seller saat ini, yakni Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Aku agak terlambat membaca novel-novel ini, yang terus terang aku baca setelah banyak orang membicarakan film dan novelnya yang laris manis. Selama ini kalau ke bookstore aku jarang sekali meu menengok counter buku-buku novel Indonesia.

Saat membaca Ayat-ayat Cinta, --yang saat ini layar lebarnya lagi puncaknya, menyedot perhatian publik dan mencatat rekon penonton bioskop di Indonesia--, terus terang aku tidak terlalu terkesan dengan film maupun novel ini. Ceritanya terlalu terfokus pada satu orang, yakni Fahri, yang demikian perfect menampilkan karakter dan performanya. Seorang yang cerdas, alim, berprestasi, tampan, punya social relationship yang luas, akademis, tidak pernah bermasalah dengan keuangan, dicintai teman-temannya dan tentu saja, dipuja oleh banyak wanita. Jalan hidupnya begitu lurus, dan hanya sedikit di ujung cerita menghadapi masalah karena difitnah seseorang, lalu berakhir dengan happy ending, bersama dua orang isteri yang cantik dan kaya.

Justru pada novel satunya yang tidak sepopuler Ayat-ayat Cinta diatas, yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih, terus terang saja aku sangat terkesan. Beberapa kalil aku berhenti membaca beberapa saat karena menghayati alur cerita dan menikmati indahnya bait-bait tulisan dari pengarangnya, Habiburrahman El Shirazy. Tokoh dalam cerita, Azzam, adalah seorang mahasiswa di Al Azhar University Cairo, yang selama masa kuliahnya tidak bisa dikategorikan sebagai mahasiswa gaul dan populer, tidak dikenal sebagai mahasiswa yang dibanggakan prestasi akademisnya maupun prestasinya yang lain. Sembilan tahun waktu yang dihabiskan untuk kuliah di Mesir, dan tidak lulus-lulus untuk sekadar S1. Nilainya pas-pasan kecuali di tahun pertama, saat bapaknya masih hidup. Berubahnya orientasi hidup dan kuliah dia terjadi pada tahun pertama dia kuliah, saat bapaknya meninggal dunia, dan setelah itu setiap harinya disibukkan dengan aktivitas bisnisnya membuat bakso dan tempe.

Terus terang saja, ada banyak aspek latar belakang cerita yang bagiku sangat menyentuh, dan terus terang buku ini telah mengingatkanku pada suatu keluarga besar yang kukagumi dalam upayanya untuk meletakkan dasar-dasar dan fondasi bagi generasi-generasi turunan mereka, agar bisa bermanfaat bagi sebanyak mungkin umat. Ada beberapa benang merah yang nyambung dalam fondasi orientasi hidup dan karakter cerita pada novel diatas dengan beliau-beliau yang kusebutkan diatas. Mereka, para orangtuanya yang telah memberikan contoh teladan yang baik bagi anak-anak dan cucu-cucunya, yang mestinya hal ini dapat memacu semangat bagi anak dan cucu-cucu mereka untuk melakukan refleksi, napak tilas dan upaya meneruskan jejak langkah yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu mereka dalam konteks kekinian, yang tentu saja jauh lebih kompleks. Aku ingin sedikit cerita tentang keluarga yang kukenal secara sekilas itu, yakni Bani Mukhtar dan Bani Musthofa maupun beberapa Bani diatasnya lagi, semisal Bani Nur Muhammad. Mereka cukup populer untuk kota dan komunitas kecilku di kota kelahiranku yakni Wonogiri. Tidak ada maksud apa-apa saat aku menceritakan tentang mereka, melainkan aku hanya ingin agar dengan cerita ini kami akan mengingat mereka, mengingat upaya dan jerih payah mereka, mengingat pesan-pesan moral mereka, dan meneruskan jejak langkah mereka.

Masyarakat di kota kecil kami telah mengenal keluarga besar itu yang terdiri dari keluarga dimana terdiri dari banyak orang yang menonjol tingkat keshalihannya, para kyai, ustadz, para alim ulama yang berada pada barisan depan dalam menyebarkan Islam dan dakwah, dari dulu sampai sekarang di daerah kami. Di tiap masa generasi keluarganya, seolah tidak pernah habis munculnya orang-orang yang masuk dalam kategori orang shalih, kyai ataupun alim ulama, ustadz muda, pemuka agama dan penyebar agama Islam. Aku ingat, pernah suatu ketika mendampingi salah satu dari mereka, saat melakukan ceramah-ceramah ke segenap pelosok terpencil, tiap hari selama sebulan penuh saat ramadhan. Beberapa kali aku diajak beliau untuk menempuh perjalanan panjang keluar masuk hutan, mengeberangi sungai untuk sekadar memberikan ceramah yang membangun kehidupan keagamaan di tiap desa yang jauh dari peradaban. Beliau sempat intensif untuk membangun sebuah masjid besar di sebuah desa terpencil yang harus dicapai dengan menembus hutan. Saat-saat mendampingi beliau, kurasakan betapa masyarakat terhalang oleh sungai dan tidak ada jalan darat untuk menuju desa tersebut. Beliau sangat dicintai oleh masyarakat.

Kesamaan background cerita Ketika Cinta Bertasbih dengan keluarga itu, pertama adanya nuansa bahwa pendidikan merupakan hal yang utama. Pendidikan tentu saja bisa pendidikan agama maupun pendidikan umum. Untuk keluarga itu, konteksi saat ini mungkin dapat dikatakan bahwa 80% lebih banyak berkecimpung dalam pendidikan umum. Ini agak berbeda dengan generasi sebelumnya dimana lebih banyak yang menamatkan pada sekolah-sekolah agama. Masyarakat mengenal bahwa keluarga itu sangat memperhatikan dan peduli dengan pendidikan, dan karena orang-orang tuanya banyak yang shalih dan selalu mendoakan anak-anaknya maka banyak yang berhasil dalam meniti jenjang pendidikannya. Yang saya katakan jelas, karir pendidikan, bukannya karir pekerjaan atau kekayaan. Yang kutahu, bukan meniti karir pencapaian materi pada tingkat-tingkat tertentu, karena memang sejak kecil anak-anak mereka dipacu dan dididik untuk mengejar ilmu, menjadi orang yang berilmu, menjadi orang yang alim dan shalih. Bukan dididik dan digadang-gadang untuk menjadi orang yang kaya kelak. Mengapa? Bukankah kekayaan apabila digunakan untuk beribadah akan menghasilkan efek multiplier yang besar dan tingkat kualitas ibadah yang lebih tinggi? Mungkin iya, tapi kupikir, pertimbangan orang-orang tua kami adalah, pertama, karena kalau orang berilmu, orang alim maka biasanya –meski tidak selalu begitu—akan diikuti oleh faktor kemudahan dalam mendapatkan financial. Kedua, kalau kekayaan dijadikan sebagai panglima dan tolok ukur maka akan membuat orang cenderung melakukan apa saja untuk mendapatkan standar kekayaan yang ada pada ekspektasi dan angannya yang diciptakan oleh bawah sadar seseorang ketika hal itu menjadi hal yang dijadikan standar umum bagi lingkungannya. Makanya yang dijadikan standar bagi lingkungan keluarga itu adalah pentingnya upaya belajar dan menempuh pendidikan semaksimal mungkin. Ketiga, mungkin kalau seseorang telah mencapai tingkat kekayaan yang tinggi dimata masyarakat, maka sesungguhnya hal tersebut akan lebih menjadikan itu sebagai ujian. Dan terkadang manusia justru gagal ketika diuji oleh kekayaan, kecuali orang –orang yang tidak sekadar mencari materi, melainkan menjadikan materi itu hanya sekadar merupakan implikasi dari hal lain yang jadi orientasi hidupnya. Dan materi sebagai tools untuk kenyamanan beribadahnya. Kalau tidak, ya itu tadi, seringkali orang justru gagal diuji dengan kekayaan materi. Karena, dari jaman Adam sampai kapanpun, ini adalah salah satu godaan duniawi yang memang indah namun bisa menyesatkan jalan orang. Namun sekali lagi, tentu saja orang-orang tua mereka bukanlah orang yang mengabaikan materi atau kesejahteraan. Mereka adalah oramg-orang yang khusysuk dalam beribadah dan sekaligus tekun dan kerja keras dalam bekerja.

Kembali ke novel diatas, ada kesamaan novel tersebut dengan keluarga itu, yakni adanya nuansa pesantren yang ada dalam cerita tersebut, dimana pada akhirnya tokoh utama cerita, yakni Azzam, akhirnya menikah dengan Anna, putri seorang tokoh Pengasuh Pesantren terkenal di Klaten. Dunia pesantren bagi keluarga itu juga adalah suatu komunitas yang tidak asing.

Kesamaan ketiga bahwa tokohnya terhimpit dalam tuntutan finansial karena saat di tahun pertama kuliah di Al Azhar University, ayah Azzam meninggal, sehingga hal tersebut sangat mengubah jalan hidup Azzam, yang semula konsentrasi pada kuliahnya menjadi ditambah pada keharusan peran untuk menyelamatkan masa depan keluarga dan adik-adiknya dengan bekerja. Dan hal itu menumbuhkan jiwa enterpreneurship pada Azzam, yang mau tidak mau membawa implikasi pada kuliahnya yang menjadi mahasiswa abadi. Saat itu teman-teman seangkatannya sudah pada kembali ke tanah air, kecuali yang meneruskan S2, Azzam tidak pernah mengeluh dan sungkan harus memeras keringat demi pendidikan dan masa depan adik-adiknya. Ini mirip dengan nuansa pada keluarga itu dimana anak-anak mereka disamping harus kuliah, mengejar terget nilai tertentu, juga harus berpikir bagaimana harus survive dalam proses pendidikannya. Mereka kebanyakan harus nyambi bekerja apapun untuk menghasilkan uang karena mepetnya uang bulanan yang dikirimkan oleh orangtua mereka. Mereka saling bantu antarsaudara. Kakak yang telah lulus atau memiliki likuiditas yang lebih baik membantu adik-adiknya. Tidak jarang hal itu membawa konsekuensi lamanya waktu studi yang harus mereka tempuh karena bercabangnya pikiran dan aktivitas mereka. Itulah proses pembelajaran yang riil tentang kehidupan, yang niscaya akan bermanfaat bagi mereka kelak.

Kesamaan selanjutnya yang juga menyentuh, adalah bahwa Azzam berasal dari Sraten Solo. Di Solo, nyaris tidak ada yang tidak kenal dengan keluarga itu yang memang tinggal di Sraten. Salah satu dari mereka pada generasi yang lalu telah diabadikan menjadi nama jalan di daerah itu. Ada pesantren informal keluarga besar mereka yang sampai sekarang masih eksis, yang sering disebut sebagai pesasntren Sraten. Banyak orang-orang terkenal yang dulunya pernah mondok di pesantren ini. Suatu ketika aku pernah berkunjung ke rumah salah satu keuarga itu, yang kebetulan anaknya adalah teman kantorku, mas Yusuf Kurniawan. Keluarganya adalah bagian dari keluarga besar di Sraten itu. Ada suatu momentum yang mirip dengan salah satu moment pada novel diatas. Waktu itu, ibundanya mas Yusuf Kurniawan itu sempat mengeluhkan dan mengeluarkan uneg-uneg padaku ketika salah seorang teman kami, entah tidak sholat atau terlambat sholat, yang jelas bangunnya kesiangan. “Mas, aku kok kurang suka dengan teman anakku itu. Namanya sih Islami, tapi kok bangun pagi pada saat matahari sudah terbit. Lalu bagaimana dengan sholat Shubuhnya..?”. Ini persis dengan keluhan Ibunya Azzam, yang terus terang mengungkapkan ketidaksukaannya saat Azzam akan dinikahkan dengan teman adiknya, Husna. Kenapa? Karena di pagi-pagi buta, Ibunya Azzam menjumpai bahwa teman Husna tersebut tidur lagi setelah sholat Shubuh. Kata Ibunya,”Di rumah orang saja bisa tidur habis sholat shubuh, bagaimana kalau di rumah sendiri”. Membaca kisah Azzam yang ditinggal wafat oleh ayahnya saat tahun pertama kuliah, aku jadi teringat bahwa temanku Yusuf ini juga juga ditinggal wafat oleh ayahandanya, seorang dosen di UNS.

Yah, sekali lagi tidak ada maksud apa-apa saat aku cerita mengenai kemiripan-kemiripan novel dengan apa yang aku kemukakan diatas, kecuali sekadar untuk menjadikan ini sebagai salah satu pelajaran bahwa banyak hal yang bisa aku petik hikmahnya dari novel diatas. Dan karakter-karakter yang dibangun pada novel diatas bukanlah sesuatu yang mengawang-awang dan tidak nyata, melainkan bisa jadi riil ada di sekitar kita. Dan kita bisa belajar dari mereka.

Selasa, 15 Januari 2008

Quo Vadis Film Indonesia?

Selama ini saya sangat jarang mau merelakan diri, meluangkan waktu untuk duduk manis sembari makan pop corn di bangku bioskop, hanya sekadar untuk melihat film Indonesia. Pada akhirnya, dimulai dari 2006 itulah, saat saya iseng-iseng mencoba untuk melihat film Indonesia, berjudul Ekskul. Setelah itu beberapa kali saya melihat film Indonesia, yang memang harus saya akui bahwa beberapa produser lokal telah menawarkan film-film lokal yang cukup kreatif dan berani untuk menampilkan tema atau permasalahan yang dulunya dianggap tabu, dengan dialog-dialog yang cukup cerdas dan alur cerita yang menarik. Juga ada pesan moral yang mau disampaikan kepada penonton. Beberapa film yang sempat saya nikmati bertema tentang persahabatan, kekeluargaan, dan tema-tema sosial. Dan harus diakui bahwa perfilman nasional pada tahun-tahun terakhir mengalami perkembangan pesat. Film-film lokal banyak menghiasi jaringan biskop twenty-one, belum lagi juga sinetron-sinetron di berbagai channel televisi, telah membuat orang merelakan diri untuk duduk setia di depan televisi, sampai berjam-jam setiap hari, untuk tidak melewatkan satu episode pun dari sinetron-sinetron favorit mereka. Film-film bioskop keluaran produser lokal juga mengalami lonjakan jumlah penonton, yang rela untuk mengantri demi mendapatkan selembar tiket untuk mendapatkan pengalaman mendebarkan hati dalam gedung bioskop, yang tentu saja tidak puas dengan hanya menikmati dvd bajakan yang selalu beredar bersamaan dengan beredarnya film di bioskop.

Nah, beberapa waktu lalu, sepulang kantor, saya sengaja mengajak si kecil Avisena (8) dan Syifa (6) untuk nonton film bioskop di Mega Mall Bekasi, yang baru saja soft opening Studio XXI. Rencananya, kita mau lihat film Hollywood, yang aku sendiri udah lupa judulnya. Sampai di depan loket, saat saya sudah mengeluarkan uang untuk membayar tiket, dua anak saya langsung menyatakan protes dan seolah merasa memiliki hak veto untuk memutuskan film apa yang seharusnya kita lihat. “Papa, kami keberatan melihat film barat, dan ingin lihat film yang itu”, kata Avisena. “Iya Papa. Kami maunya nonton yang itu, Miracle, pasti bagus deh. Lihat aja penontonnya banyak dan antriannya panjang”, tambah adiknya yang terus berusaha mendesak dan menyakinkan saya. Setelah beberapa waktu berdebat di depan kasir yang dengan sabar menunggu kami untuk memutuskan, akhirnya dengan terpaksa saya memenuhi keinginan mereka. Duh, aku ingat ini untuk yang kesekian kalinya saya mengalah untuk mereka. Mereka selalu aktif untuk memilih dan merekomendasikan film kesukaan mereka, seolah film itu akan menjanjikan cerita dan pengalaman menonton yang lebih menegangkan dan mengasyikkan bagi mereka. Kejadian ini seperti 2 minggu yang lalu, saat kami sempat berdebat untuk memutuskan film apa yang akan kami lihat, sampai akhirnya saya terpaksa mengalah untuk melihat film, kalau tidak salah berjudul “Enam”, yang menurutku sangat monoton alur ceritanya, komunikasinya kurang cerdas, dan namanya juga film horror, tentunya tidak masuk akal dan yang tidak ilmiah. Barangkali kalo saya boleh menebak, yang menjadi fokus dari produser --tentu saja tidak semuanya!-- adalah bagaimana membuat film dengan biaya serendah mungkin, dibuat judul seseram mungkin untuk menarik penonton sebanyak mungkin, dan meraup rupiah sebanyak-banyaknya. Dan saat ini, kembali saya terpaksa mengalah untuk kebahagiaan mereka untuk menikmati film yang diinginkannya.

Film yang kami nonton kali ini adalah Miracle. Film ini di garap oleh sutradara Helfi Kardit, yang dikenal sebagai sutradara yang berpengalaman menggarap beberapa film yang laris manis dengan animo penonton yang relatif tinggi, misalnya film “Lantai 13” dan “Bangku Kosong”. Film ini bercerita tentang seorang remaja SMU yang memimpikan kecelakaan saat mau beragkat acara piknik bersama teman-teman sekolahnya, sehingga dia memaksakan untuk turun dari bis, dan diikuti beberapa teman dan gurunya. Ternyata sesuai dengan impian dan bayangannya, bis tersebut benar-benar mengalami kecelakaan. Dan, selanjutnya sesuai dengan pesan mimpinya, si gadis mengetahui bahwa urutan kematiannya adalah sesuai dengan urutan abjad “Kita Mati”, dimana sang Malaikat Maut bertugas mencabut nyata beberapa siswa yang selamat karena turun dari bis tersebut, dimana seharusnya mereka ikut dalam kecelakaan kalau bukan karena dipengaruhi oleh si gadis. Akhirnya beberapa remaja yang tersisa, memutuskan untuk melawan kehendak maut yang mengancam mereka.

Sesungguhnya, 10 menit pertama dari film ini langsung mengingatkan saya pada tiga sekual film Final Destination. Sungguh, film Miracle ini nyaris, ris, ris, ris...., mirip, rip, rip, rip … sama dengan Hollywood tersebut. Tentu saja, meski meniru, kalau tidak dapat dikatakan sebagai mengadopsi bulat-bulat, baik ide maupun alur ceritanya, namun demikian tingkat kualitas film, dialog, dan actionnya sangat jauh bedanya. Misalnya, adegan kecelakaan, pada film Final Destination disajikan atraksi kecelakaan beruntun beberapa mobil, truk, motor, dengan adegan yang cukup mendebarkan yang tentu saja membutuhkan teknik dan biaya produksi yang cukup tinggi. Sedangkan pada film Miracle, adegan kecelakaan tersebut cukup diketahui dari berita seseorang yang disampaikan melalui handphone bahwa bis sekolah mengalami kecelakaan. Betapa jauh bedanya. Itu hanya salah satu perbedaan kualitas produksinya, dan tentu saja masih banyak lagi lainnya.

Coba sekarang kita bandingkan ide dan alur cerita film Miracle ini dengan sekuel film Final Destination. Pada sekuel pertama Final Destination 1, awal ceritanya setelah menaiki pesawat penerbangan 180 yang akan terbang dalam acara kunjungan kelas ke Paris, Alex Browning mendapat penglihatan bahwa pesawat yang dinaikinya akan meledak tidak lama setelah lepas landas. Alex berusaha untuk membatalkan penerbangan pesawat, dan itu sempat membuat keributan di pesawat. Setelah keributan itu, akhirnya dia dikeluarkan dari pesawat dengan salah satu gurunya, dan beberapa siswa lain yang juga membatalkan pemberangkatan karena diperintah untuk menjaganya. Hanya beberapa saat setelah pesawat lepas landas mereka menyaksikan pesawat yang sebelumnya mereka tumpangi itu meledak, menewaskan seluruh penumpang yang berada di pesawat. Sedangkan mereka yang selamat, awalnya lolos dari kematian, namun kehidupan mereka hanya tinggal sebentar, rangkaian kematian misterius yang mengerikan mulai menghantui mereka.

Selanjutnya pada Film Final Destination 2, film ini dimulai setelah setahun sejak ledakan tragis Penerbangan pesawat. Ketika sedang pergi berlibur, Kimberly Corman bepergian dengan beberapa temannya temannya, mendapatkan penglihatan tentang
tabrakan di Jalan Tol yang mengerikan ketika masih di lampu merah masuk tol. Dia menyebabkan keributan ketika dia menghalangi lalu lintas, namun ternyata pertanda itu terbukti benar. Beberapa orang yang selamat karena keribuktan dengan Kimberly, satu persatu meninggal dengan tragis. Kim memulai memberitahu setiap orang tentang penglihatan anehnya. Mereka semua meninggalkan, namun seorang yang selamat tewas dengan misterius, dan Kim mulai mencurigai bahwa penglihatannya benar-benar sesuatu yang berlebihan. Kim berusaha memecahkan rahasia tanda-tanda maut yang mengancam dia dan orang-orang yang sempat selamat dari kecelakaan tersebut. Akhirnya beberapa orang yang tersisa sepakat untuk saling menjaga agar tetap selamat.

Pada sekuel terakhirnya, Final Destination 3, film ini menceritakan tentang suatu "penglihatan" akan kematian, sama seperti film-film Final Destination sebelumnya. Wendy mendapat penglihatan melalui kamera digitalnya, kamera digital Panasonic yang seharusnya berguna untuk keperluan foto buku tahunan, malah membantu ia mengetahui cara-cara kematian teman-temanya. Misalnya dia memotret wahana permainan “High Dive” yang ternyata dalam penglihatan dia menjadi “High Die”. Sebelum menaiki roller coaster, Wendy mengalami penglihatan bahwa akan terjadi kecelakaan roller coaster yang akan mematikan dia bersama teman-temannya. Tapi sebelum Wendy meninggal dalam penglihatannya tersebut, ia langsung tersadar dan menyuruh petugas membuka alat pengamannya agar ia bisa keluar. Petugas pun memperbolehkan Wendy keluar dari roller coaster, dan diikuti beberapa temannya yang pada akhirnya selamat dari kecelakaan maut tersebut. Akhir ceritanya, sama dengan sekuel sebelumnya, Wendy berhasil mengetahui rencana maut yang akan membunuh satu persatu teman-temannya dan dia yang seharusnya mati dalam kecelakaan tersebut.

Yang ingin saya sampaikan, kebanyakan tema film-film laris di Indonesia saat ini, dan mungkin entah sampai berapa tahun kedepan, adalah film-film bertema horror. Sutradara dan produser film selalu berkilah bahwa mereka tentu saja akan menjual film yang based on market agar diterima publik. Namun, benarkah bahwa minat dan keinginan itu muncul dari masyakarat ataukah memang dikondisikan oleh produser sendiri? Menurut saya, keduanya memiliki kontribusi yang membuat hal ini terjadi. Produser secara massif menawarkan film-film seperti ini dari berbagai lini, baik di televisi maupun layer lebar, dan dimana-mana masyarakat disuguhi oleh hal-hal seperti ini, yang pada akhirnya membentuk persepsi dan minat masyarakat. Sampai pada posisi ini maka produser akan dengan mudahnya masuk, menawarkan film-film yang sebenarnya ceritanya diulang-ulang, dan beberapa produsen malah mencoba untuk mengadopsi film-film dari luar secara bulat-bulat seperti film Miracle ini. Dan seperti biasa, masyarakat berduyun-duyun antri untuk mendapatkan tiket film tersebut. Semoga, di masa mendatang film Indonesia akan berada pada level kualitas yang semakin meningkat, yang mencerdaskan masyarakat, bukan sekadar melakukan pembodohan dan mempersepsikan film sebagai sekadar industri yang dapat meraup keuntungan setinggi-tingginya tanpa memikirkan pesan dan efek sosial serta psikologik pada penontonnya. Semoga.

Senin, 03 September 2007

Pedestrian di Metropolitan yang semakin terpinggirkan...


Sudirman Square, dimana para pekerja kantoran, mahasiswa, atau siapapun yang sering berada di sekitar tempat tersebut tentunya sangat dikenal dan memberikan nuansa kenyamanan tersendiri dibandingkan dengan tempat lainnya. Tidak heran, karena tempat seperti ini sangat jarang dikembangkan di Jakarta. Kebanyakan pengembang di Indonesia menempatkan motif bisnis sebagai pertimbangan yang sangat rasional dibandingkan dengan motif lainnya. Apalagi di area ini yang sangat mahal, mungkin termasuk area yang paling mahal di Indonesia. Sebuah ruang yang lapang, santai dan memberikan rasa humanis bagi para penikmatnya.
Ruang terbuka yang berlokasi di depan Bank Danamon ini, pada sore hari selalu dipenuhi oleh beragam manusia, mulai dari pekerja kantoran yang yang duduk dengan nyaman dan tidak terlalu terburu-buru untuk pulang karena tempatnya cukup nyaman, sembari menunggu bis kota, tukang ojek yang menanti penumpang, penjual gorengan, penjual minuman, mahasiwa yang sedang mendiskusikan entah apa, mungkin ada juga segelintir copet yang sedang mencari mangsa, hingga para penikmat sore hari yang kekadar kongkow-kongkow dan berharap ada cowok atau cewek yang melirik mereka. Bagi saya, dan tentunya bagi banyak orang yang pernah merasakan suasana Sudirman Square, tentunya ada nuansa yang hilang tatkala ruang seperti ini tidak ada lagi. Sebagaimana pertama kali sewaktu berdiri di sana, saya langsung terkesan dan berpikir “inilah yang kita butuhkan sebagai bagian dari komunitas urban. Sebuah ruang terbuka dimana setiap orang dapat mengekspresikan dirinya dan berinteraksi dengan setiap orang lainnya.” Pada waktu itu ada seorang mahasiwa yang berkata pada temannya, “kayaknya kalo kita bikin happening art di sini, pasti asyik deh.” Dia menambahkan bahwa mereka sudah lama tidak sering menggelar happening art, terutama karena tidak ada ruang yang kondusif untuk itu. Mendengar perbincangan itu saya tertarik dengan recana mereka dan pada hari-hari selanjutnya saya menunggu kapan mereka merealisasikan rencana mereka untuk menggelar happening art atau entah apa lagi yang mereka rencanakan. Namun dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, ternyata apa yang saya tunggu tidak pernah hadir. Entah apa sebabnya. Sungguh disayangkan sebenarnya, jika saja pagelaran-pagelaran gratisan dan kreatif serupa itu dapat terus berjalan secara rutin hal ini tentu akan memberikan nilai tambah bagi Sudirman Square sebagai sebuah ruang publik terbuka. Dan juga akan menyenangkan bagi para penunggu bis kota, tukang-tukang ojek, pedagang-pedagang dan para tukang kongkow-kongkow karena akan mendapatkan hiburan gratis setelah lelah menjalankan kepenatan aktivitas masing-masing sepanjang hari. Dan bagi para ‘pencinta kreativitas’ yang terpinggirkan, ruang tersebut dapat digunakan sebagai panggung ekspresi dan kreasi bagi aktivitas berkesenian mereka. Sudirman Square akan semakin berwarna.Di tengah himpitan beban kota yang semakin besar, ruang-ruang publik terbuka serupa itu merupakan wilayah relaksasi yang dibutuhkan bagi sebagian besar kaum urban. Karena ia terletak di tengah kota dan tidak membutuhkan biaya besar untuk menikmatinya. Sehingga dapat dikatakan ia bersifat anti-diskriminasi, dapat dinikmati siapa saja. Namun sayangnya, perspektif demikian tidak dimiliki oleh pemerintah kota Jakarta. Ruang-ruang publik terbuka seperti ini sangat sulit dijumpai di Jakarta.
Sampai akhirnya, setelah saya tidak lama menyambangi area ini, suatu ketika saya melewati tempat ini ternyata kondisinya telah jauh berubah. Area itu sudah menjadi tertutup, karena akan digunakan sebagai area pengembangan bisnis, oleh perusahaan HMSP yang saat ini dimiliki oleh Philips Morris. Dan sekali lagi, kita telah kehilangan sebuah ruang yang biasa kita gunakan untuk banyak hal. Tapi hal tersebut tidak lantas membuat kita putus asa karena kehilangan hal itu, karena (semoga) akan muncul ruang-ruang lain yang memang selalu kita butuhkan.

Keretaapi Indonesia terkena kutukan?


Dalam setengah bulan terakhir ini, hampir di semua headline koran di Indonesia memuat peristiwa tabrakan beruntun keretaapi di Indonesia. Pada awalnya tabrakan antarkeretaapi di Jawa Timur diikuti beberapa hari kemudian terjadi tabrakan antara keretaapi dengan truk yang membawa muatan bahan bakar bensin. Belum selesai drama kecelakaan tersebut, terjadi lagi dalam waktu yang hampir bersamaan, tabrakan antara keretaapi dengan biskota di dekat stasiun Kalibata. Peristiwa kali ini terjadinya pada saat aku ada disana, meski tidak tepat di depan mata kepalaku. Tak urung beberapa peristiwa kecelakaan beruntun ini memaksaku untuk berpikir dan merenung, ada apa yang salah pada pengelolaan transportasi dan lalu lintas di Indonesia, sehingga kecelakaan demi kecelakaan terus terjadi dengan kasus yang nyaris sama, dengan korban yang terus berjatuhan seolah bukan hal yang penting untuk segera dibangun sebuah sistem antisipasi anti kecelakaan. Sebagai contoh, kita lihat bagaimana pengelolaan pengaturan lalu lintas di samping stasiun keretaapi Kalibata. Yang ini aku tak perlu repot2 untuk berpikir lama, karena hampir tiap hari aku melewati jalan tersebut setiap kali aku kuliah Investment Banking di IPMI Business School, --kebetulan aku dapet scholarship kuliah s2 dari kantorku-- yang lokasinya berdekatan dengan peristiwa kecelakaan tersebut. Dari arah TMP Kalibata, kemudian jalan terbelah dua antara flyover yang melintas di atas rel keretaapi, sedangkan jalan yang satunya harus cross dengan rel. Di jalan tersebut para kendaraan umum sejak kopaja, mikrolet, metromini, dan teman2nya, dapat dipasatikan bahwa setelah mereka menyeberangi rel, lantas ngetem untuk mencari penumpang dari stasiun Kalibata, tanpa sedikitpun peduli dengan keselamatan orang lain yang macet dan terjebak di belakangnya. Antrian pun selalu makin panjang, dan jalan yang sempit itupun terasa makin crowded. Aku seringkali juga terjebak di jalan tersebut, terkadang saat terjebak di atas rel dan tiba2 mendadak ada suara raungan sirine sebagai sinyal sebentar lagi ada KRL yang akan lewat.Kejadian tersebut selalu berulang, sehingga terkadang aku berpikir dan membayangkan, suatu saat akan terjadi tabrakan maut di sini. Dalam hatiku berkata, mudah2an perkiraanku salah. Namun dengan perkembangan yang tak kunjung ada perubahan, maka akhirnya terjadilah peristiwa ini, beberapa hari yang lalu. Aku melihat sendiri betapa hancur leburnya biskota itu dihantam KRL Eksekutif yang melaju kencang tanpa sempat mengurangi kecepatan sedikitpun. Siapa yang salah? Sejenak, dalam ketermanguan di tengah hiruk-pikuknya setelah tabrakan tersebut, aku hitung ada sekitar 7-9 rambu2 yang gambarnya sama, larangan berhenti di tempat tersebut. Namun, yah, aturan dan rambu boleh saja dipasang, tapi yang lebih penting adalah bagaimana penegakan hukum dan pembangunan moral dapat diimplementasikan. Renungan ini tentu saja hanyalah sebagian kecil dari pengamatan langsung yang kebetulan saat itu aku sedang di depan peristiwa tabrakan tersebut. Dan tentu saja ada banyak hal lainnya yang lebih bisa menjelaskan kenapa hal ini bisa terjadi. Pada intinya, demikian banyak hal yang mestinya harus dibenahi, dan kalau tidak, kapankah Indonesia akan berubah dengan lebih memberikan penghargaan betapa berharganya kualitas dan harkat kehidupan yang lebih manusiawi, dan lebih memberikan hak2 warganya untuk menikmatinya.

Refleksi Kasus Subprime Mortgage


Krisis Subprime Mortgage yang terjadi pada bulan Agustus 2007 telah mengakibatkan pasar finansial dunia tergoncang, yang sekali lagi memberikan pelajaran bagi kita bahwa pasar keuangan dunia sudah saling mempengaruhi dan melewati batas-batas kultural maupun geografis. Bursa saham dan investasi portfolio di seluruh dunia terpengaruh, dalam skala yang berbeda-beda. Bagaimana dampaknya terhadap kita di Indonesia? Sebagaimana kita ketahui, dampak langsung yang kita alami misalnya, menjelang hingar–bingar proses secondary offering dengan iklannya “BNI Go Public Lagi”, saham ini semula diharapkan akan appreciate di tengah bullish-nya index capital market di Indonesia, ternyata kenyataan yang terjadi telah menggugurkan berbagai asumsi dan ekspektasi pasar sebelumnya. Investor yang semula dengan penuh optimis untuk menyisihkan sebagian portfolionya pada saham Bank BNI, atau sekadar ikut-ikutan trend, dengan harapan market valuenya akan naik, seketika mengalami panic-selling yang menekan harga saham saat terjadi gejolak Subprime Mortgage. Akibatnya, saham Bank BNI tercatat sebagai satu-satunya saham yang mengalami penurunan nilai pasca IPO pada tahun ini, dan hal ini membuat berbagai pihak, terutama pemerintah, untuk berpikir ulang dan mengevaluasi rencana IPO pada sejumlah BUMN yang rencananya akan dilakukan pada tahun ini.
Tercatat, dalam peristiwa ini beberapa Bank dan perusahaan financial dunia memutuskan men-disclose kerugian yang diderita sebagai dampak langsung dari Subprime mortgage, yang kebanyakan adalah bank-bank dan perusahaan yang bereputasi internasional. Sehingga hal ini sempat menyulut aksi jual di sejumlah bursa, seperti index Nikkei 225 Tokyo, index Hang Seng Hong Kong, IHSG. Demikian pula berbagai bursa lainnya seperti di Sydney Australia, Thailand dan Singapura. Beberapa perusahaan financial yang terlibat dalam transaksi Subprime Mortgage dan dinyatakan merugi diantaranya ICBC Beijing, pemegang surat utang SM senilai US$ 1,23 miliar. RAMS Home Loans juga diberitakan mengalami kerugian dari sekitar 60% dari tital pembiayaan SM. Diperkitrakan perusahaan ini akan default sebesar US$ 5 miliar, sehingga berdampak pada merosotnya nilai saham sebesar 36%.

Selain itu, Basis Capital di Australia dan Sumitomo Mitsui Financial Group Inc, bank terbesar ketiga di Jepang juga mengalami hal yang sama. Mitsui mengaku membiayai sekitar US$ 99 miliar SM. Begitu pula Mitsubishi UFJ Financial Group yang membukukan kerugian sebesar 5 miliar Yen terkait pasar SM. Lebih lanjut, Industrial and Commercial Bank of China melaporkan kerugian sebesar US$ 1,23 miliar atau 4,23% dari portofolio investasi luar negeri. Akibatnya, harga sahamnya sempat anjlog. Bank ini membeli senilai US$ 8,97 miliar Subprime mortgage-backed bonds dan US$ 682 juga collateralized debt obligations (CDOs) hingga akhir Juni 2007.

Dari berbagai perusahaan yang telah dilaporkan mengalami kerugian sebagai dampak langsung dari SM tersebut, dimanakah gerangan perusahaan Indonesia? Menurut hemat penulis, perusahan-perusahaan di Indonesia mendapatkan blessing in disguise akibat dari ketertinggalan bank dan perusahaan finansial lainnya di Indonesia yang belum banyak melakukan transaksi pada pasar mortgage. Entah karena transaksi ini masih terlalu advanced bagi Indonesia, belum adanya regulasi yang secara tegas mengaturnya, atau karena sebab lainnya. Menjadi hal yang patut untuk dipersiapkan oleh segenap pihak, baik itu regulator maupun pelaku bisnis keuangan, untuk mempelajari mortgage back securities ini terlebih dahulu sebelum mengalami kerugian sebagaimana perusahaan-perusahaan lainnya diluar Indonesia.

Subprime mortgage adalah notes/bond dengan underlying asset berupa kredit properti yang dikeluarkan oleh sebagian bank-bank di Amerika Serikat pada saat mengalami booming kredit properti. Jumlah total bond di Amerika Serikat US$ 10 triliun, dan sebesar US$ 1,2 triliun adalah berupa subprime mortgage, dan sebesar US $ 0,5 triliun adalah subprime Collateralized debt obligations (CDOs). Subprime mortgage yang dikeluarkan perbankan dijual kepada SPV, kemudian oleh hedge funds diperjualbelikan kepada public dengan tingkat rating yang berbeda-beda. Subprime mortgage sendiri sebenarnya memiliki rating yang kurang bagus karena underlying assetnya adalah kredit properti yang sebagian besar dimiliki oleh masyarakat AS yang berpenghasilan menengah ke bawah dan sensitive terhadap volatilitas suku bunga. Belakangan bahkan disinyalir ada keterlibatan beberapa rating agency yang selama ini cukup memiliki kredibilitas tinggi seperti Moody’s, Standard and Poors dan lain-lain, yang patut diduga telah memberikan rating secara over-value pada Subprime mortgage ini.
Penetapan rating ini adalah hal yang urgen untuk diperhatikan oleh investor sebelum menginvestasikan dananya pada instrumen mortgage ini. Biasanya, mortgage memiliki rating yang lebih tinggi dari corporate rating perusahaan maupun rating pada instrumen lain yang diterbitkan perusahaan, misalnya bond/notes, karena mortgage memiliki keunggulan berupa underlying asset yang memiliki cashflow lebih jelas. Namun demikian, toh tidak semua underlying asset berupa kredit properti memiliki prospek bagus, sehingga dalam proses identifikasi pool of fund, untuk kategori yang kurang bagus seperti halnya Subprime mortgage, dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan ratingnya, antara lain dengan cedit enhancement. Dengan rating yang lebih tinggi ini, meskipun pool of fundnya kurang bagus, maka Subprime mortgage ternyata cukup mendapatkan respon dan apresiasi positif dari investor terutama pada emerging market seperti Asia, Australia dan beberapa Negara Eropa. Bagi issuer mortgage, keuntungan dari tingginya rating ini tentunya berimplikasi pada pada tingkat cost of fund, dimana semakin tinggi rating maka kupon makin rendah. Sebagaimana diketahui, beberapa faktor yang mempengaruhi rating misalnya, pertama, Asset quality, dilihat dari historical transaksi pembayaran dari customer, sensitifitas customer terhadap interest rates, dan lain-lain. Kedua, credit enhancement, misalnya apakah ada asuransi, guarantor, over-collateral dan lain-lain. Ketiga, struktur mortgage, apakah ada senior notes dan junior notes, apakah ada sinking fund, dana yang disisihkan untuk membayar pokok mortgage, dan lain-lain. Dan tentunya factor penting lainnya adalah market condition, misalnya kalau interest rate rendah, currency stabil, makroekonomi bagus maka mortgage juga akan terpengaruh.


Konsep Mortgage Back Securities

Menurut Ian H. Giddy, Professor of Finance New York University, “Asset/Mortgage-backed securities are securities which are based on pools of underlying assets”[2]. Sedangkan Dr. Tsui Kai Chong dalam papernya berjudul Asset/Mortgage Back Securities mendefinisikan sebagai “Bond or notes that are backed by financial assets”.
Dengan perkataan lain Mortgage Back Securities merupakan instrumen yang dihasilkan dari proses transformasi asset yang tidak likuid (illiquid asset) menjadi aset likuid (liquid asset). Instrumen MBS dalam bentuk fixed income, bisa berupa notes atau bond, yang di-backup oleh sekumpulan aset (pool of underlying asset) berupa KPR atau personal loans.
Mortgage merupakan instrumen pendanaan jangka panjang, dengan maturiti antara 3-10 tahun, dengan cara mengalihkan atau menjual aset berupa piutang atau tagihan ke pihak lain yang berfungsi khusus yang disebut special purpose vehicle, yang akan menerbitkan surat utang yang dijamin dengan portofolio asset tersebut. Keuntungan penerbitan mortgage bagi bank diantaranya untuk meningkatkan likuiditas, karena pada dasarnya sekuritisasi aset merupakan penjualan aset, sehingga merupakan sumber dana baru atau tambahan likuiditas yang diperlukan perusahaan. Aset-aset yang dapat disekuritisasi adalah aset yang relatif aman, misalnya tagihan KPR, tagihan kartu kredit, tagihan kredit kendaraan bermotor, dan lain sebagainya. Secara teoritis, kalau pool of asset-nya adalah receivable maka instrumennya disebut sebagai Asset Back Securities sedangkan kalau pool of asset-nya berupa KPR/mortgage maka instrumennya disebut sebagai Mortgage Back Securities. Sekuritisasi aset pada tagihan KPR ini sekuritas hutangnya dapat diperdagangkan di pasar khusus mortgage, yang disebut pasar sekunder perumahan (secondary mortgage market).
Dalam sejarahnya, mortgage pertama kali diperkenalkan di AS sebagai upaya pemerintah AS untuk mendukung sektor perumahan melalui fasilitas pembiayan kredit kepemilikan rumah, yang disebut Mortgage Backed Securities. Kemudian model sekuritisasi aset ini terus berkembang ke sektor lainnya seperti perbankan hingga telekomunikasi seperti yang dilakukan oleh Telmex (Mexico) pada 1987 yang melakukan sekuritisasi aset berupa telephone receivables, yaitu tagihan atas penggunaan pulsa telepon di masa mendatang. Belakangan perusahaan ini menjadi salah satu perusahaan mesin uang terbesar di dunia.
Dapat dikatakan bahwa inti dari kualitas mortgage adalah pada pool of asset-nya. Kalau pool of asset-nya jelek, maka ratingnya juga akan terpengaruh. Dan untuk itulah perlu adanya credit enhancement yang lebih bagus sehingga ratingnya meningkat, cost of fund bisa lebih rendah dan risk juga lebih rendah, sehingga pada gilirannya akan dapat diminati oleh investor. Beberapa faktor yang dipertimbangkan untuk penerbitan Mortgage, pertama, poof of asset harus besar. Kedua, pool of asset juga harus mempunyai history default rate, stable payment, dan dapat diidentifikasi adanya risiko pembayaran lebih awal, dimana ini merupakan salah satu risiko terbesar dari mortgage, seperti juga bond /notes, bahwa call option adalah salah satu risiko terbesar. Ketiga, pool of asset harus well diversified. Yang keempat, pertimbangan mengenai kelancaran proses transfer aset yang mendukung true sale of asset.


Mekanisme Mortgage Back Securities

Bagaimana mekanisme penerbitan dan penjualan mortgage ? Secara teori, inisiatif pertama dalam proses penerbitan mortgage ini kebanyakan berasal dari Bank yang memiliki pool of asset berupa kredit properti, yang kepada Special Purpose Vehicle. Selanjutnya SPV ini akan menerbitkan surat berharga dan menjualnya kepada investor, dengan underlaying asset berupa tagihan kredit properti tersebut. Jadi dapat dilihat bahwa ada proses transformasi atau perpindahan risiko dari originator kepada SPV. Mekanisme transfer dari Bank ke SPV adalah true sale of asset. Kenapa? Karena kalau tidak true sale of asset maka risiko bisnis masih ada di bank, dimana hal ini berbeda dibandingkan dengan straight bond dimana risikonya masih terkait dengan keberadaan Bank sebagai issuer. Pada mortgage ini , investor tidak lagi melihat kepada pemilik awal pool of asset atau originator, melainkan lebih melihat pada SPV yang menerbitkan mortgage. Apa yang membuat terjadinya true sales of asset? Pertama, transfer harus dibuktikan dengan form of transaction, harus ada transaksi jual beli yang jelas antara Bank dengan SPV. Kedua, adanya transfer of benefit setiap aliran pembayaran dari customer ke SPV dan Bank. Ketiga, SPV harus independen, tidak boleh manjadi afiliasi dari Bank dan memegang kendali atas pool of asset. Dan keempat, harus ada pemisahan asset yang jelas.
Sebagaimana dikemukaan diatas bahwa underlying asset adalah hal penting untuk diperhatikan oleh investor sebelum menginvestasikan dananya pada portfolio ini, maka patut untuk menjadi pelajaran berharga, bahwa dengan underlying asset Subprime Mortgage yang sebagian besar merupakan debitur berpenghasilan menengah ke bawah yang sensitive terhadap volatilitas interest rate, maka risiko default dari mortgage ini memang cukup tinggi.
Biasanya aset yang dijual oleh Bank adalah berupa aset yang memiliki kualitas kredit yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar surat berharga atau sekuritas/efek yang akan diterbitkan oleh SPV memiliki peringkat atau rating yang tinggi sehingga kupon yang dimiliki oleh surat berharga atau sekuritas /efek akan menjadi rendah. Namun demikian, dalam Hal lain yang perlu diperhatikan adalah meskipun bank sudah menjual aset kepada SPV namun biasanya proses penagihan atau pengumpulan (collection) pembayaran baik bunga maupun pokok dari para debitur masih terus dilakukan oleh Originator. Hal ini disebabkan bahwa SPV adalah suatu perusahaan yang khusus dibuat hanya untuk menerbitkan mortgage dan juga bahwa Banklah yang paling mengetahui kondisi dan pola pembayaran dari para debitur, karena memiliki hubungan sejak awal dengan para debitur.


Proses dan Alur Mortgage back Securities

Bagaimana proses penerbitan dan penjualan mortgage, hal ini dapat digambarkan pada skema berikut:


Adapun proses penerbitan ABS adalah sebaga berikut:

Tahap pertama, bank/ lembaga keuangan (originator) yang memiliki pool of asset berupa kredit properti atau mortgage menjual pool of asset tadi kepada sebuah SPV. Perusahaan SPV ini harus terpisah secara legalitas dan entitas dari perusahaan originator, biasa disebut sebagai Special Purpose Vehicle. Tahap kedua, dilakukan identifikasi atau seleksi atas aset yang akan dijual untuk mendapatkan peringkat dari lembaga pemeringkat. Untuk meningkatkan kualitas rating, maka dilakukan pemilihan atas aset-aset untuk dikelompokkan, dilakukan tahapan untuk memperbaiki kualitas kredit, maupun upaya untuk meningkatkan kualitas kredit dengan mendapatkan jaminan dari pihak ketiga. Selain faktor kondisi makro ekonomi dan aspek mikro, Perusahaan Pemeringkat Efek akan memperhatikan karakter portofolio aset keuangan yang menjadi agunan dari Efek Beragun Aset dalam proses pemeringkatan, dan biasanya ditinjau dari aspek-aspek record pembayaran masa lalu, collateral dari debitur yang melekat pada hutang, analisa cash flow projection, struktur layer Efek Beragun Aset, credit enhancement, dan juga aset keuangannya berupa future receivable. Tahap ketiga, SPV menerbitkan mortgage back securities. Pada tahapan ini, meski issuer adalah SPV, namun originator biasanya tetap bertindak sebagai servicer memproses setiap penagihan pembayaran bunga dan/atau pokok dan kemudian mentransfernya kepada SPV setelah dikurangi komisi. Proses ini dilakukan terus menerus sampai seluruh pokok mortgage dibayarkan atau telah jatuh tempo. Tahap keempat, pembelian mortgage oleh para investor. Beberapa pihak yang menjadi target dari investor adalah individual investor, dana pensiun (pension funds), asuransi (life insurance companies), commercial bank, finance houses, mortgage banks dan lain sebagainya.


Manfaat Dari Mortgage Back Securities

Apa saja benefit dari mortgage back securities, sehingga perkembangannya di pasar financial dunia seperti AS, Eropa, Jepang dan beberapa pasar lain, begitu berkembang? Secara teoritis, sekuritisasi aset seperti ini akan sangat bermanfaat baik untuk bank/ lembaga keuangan atau originator, bagi investor maupun bagi pihak lainnya.
Bagi bank/ lembaga keuangan, beberapa manfaat dari transaksi ini diantaranya: Pertama, bank akan mendapatkan sumber pendanaan dengan biaya lebih rendah (lower cost of fund). Sebagaimana diketahui bahwa underlying asset dari mortgage biasanya adalah pools of assets yang kualitas kreditnya telah melalui proses perbaikan sehingga ratingnya menjadi lebih tinggi, sehingga kupon mortgage bias lebih rendah dibandingkan dengan cost of fund bank sebelumnya. Kedua, bank memiliki peluang untuk meningkatkan Rasio Kecukupan Modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR). Dengan dijualnya sekumpulan aset dalam bentuk pinjaman, maka jumlah aset berisiko yang dimiliki oleh bank akan menurun sehingga rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) akan meningkat. Ketiga, bank akan memperoleh fee based income, karena peran bank sebagai servicer agent. Keempat, bank dapat memperbaiki manajemen aset/liability, dimana dengan menjual pool of asset, maka bank akan mendapatkan dana baru yang akan dapat diinvestasikan dalam bentuk aset baru dimana jangka waktu pinjaman disesuaikan dengan jangka waktu kewajiban yang dimiliki oleh bank, sehingga manajemen aset/liability akan lebih baik. Keempat, bank dapat menurunkan rasio hutang terhadap ekuitas (leverage ratio), dimana dengan menjual aset, maka bank akan mendapatkan dana baru yang dapat digunakan untuk membayar sebagian hutang yang dimiliki sehingga perbandingan rasio hutang terhadap ekuitas akan turun. Kelima, bank akan memperoleh alternative source of liquidity. Kelima, bank dapat memindahkan risiko kepada pihak lain yaitu pemegang mortgage karena ada mekanisme true sale of asset. Dengan menjual aset, baik berbentuk pinjaman KPR, yang kemudian disekuritisasi dan menerbitkan mortgage yang dibeli oleh investor, maka bank memindahkan risiko yang mungkin timbul atas pemberian pinjaman kepada para debitur, kepada pihak investor yang membeli atau memegang mortgage.
Lalu apa manfaat bagi investor? Bagi investor sendiri, beberapa manfaat diantaranya adalah, pertama, investor memperoleh alternatif portfolio pada instrumen investasi dengan peringkat ‘investment grade’, dimana pemilihan aset telah ditentukan berdasarkan kriteria yang ketat ditambah dengan adanya credit enchancement yang akan menghasilkan mortgage pada kategori investment grade, sehingga akan menguntungkan bagi investor. Kedua, investor akan mendapatkan kupon atau yield yang tinggi, dimana biasanya proses mortgage lebih rumit dibandingkan dengan obligasi biasa (straight bonds), maka biasanya kupon yang ditawarkan lebih tinggi dibandingkan dengan obligasi biasa dengan rating yang sama. Secara teori MBS menawarkan attractive yield dibandingkan dengan instrumen investasi lainnya. Ketiga, ada diversifikasi dalam portfolio investor. Keempat, mortgage merupakan instrumen investasi yang dapat diperdagangankan. Sebagai instrument investasi yang dapat diperdagangkan maka mortgageg akan menciptakan likuiditas dalam portofolio investor. Kelima, cash flow relatif dapat diprediksi, karena investor sudah tahu apa yang menjadi underlying asset. Keenam, untuk menurunkan tingkat risiko event risk. Seandainya suatu perusahaan menjadi issuer bond dan sekaligus menjadi originator atas suatu ABS, apabila terjadi default pada perusahaan tersebut maka bond yang diterbitkan akan mengalami default risk. Sedangkan investor yang membeli ABS akan dapat terhindar dari risiko default karena memiliki kualitas aset yang relatif bagus dan tidak terkait dengan originator.
Bagi ekonomi pengembangan makroekonomi, maka mortgage ini akan memberikan benefit, diantaranya, pertama, untuk pengembangan capital market, dimana akan terjadi perkembangan dalam pasar modal yang cukup besar seandainya mortgage dapat diimplementasikan sebagai alternatif instrumen investasi. Kedua, consumer industry juga akan lebih murah sehingga ada peluang bagi bank untuk menawarkan kredit dengan tingkat bunga yang lebih murah.


Risiko-risiko dalam transaksi Mortgage

Selanjutnya, hal penting lainnya untuk diperhatikan terutama bagi investor untuk berinvestasi pada instrument ini adalah, pertama, credit risk, dimana risiko ini terjadi apabila end-user dari mortgage tidak mampu untuk membayar kupon dan/atau pokok pada waktu tanggal pembayaran. Seperti yang terlihat pada gambar diatas bahwa seluruh pembayaran yang diterima dari mortgage berasal dari penerimaan bunga dan/atau pokok dari agunan baik berupa KPR, sehingga kemungkinan terjadi risiko kredit adalah apabila para debitur dari aset-aset tersebut tidak mampu untuk membayar baik bunga maupun cicilan pokok. Dan inilah risiko terbesar yang dihadapi oleh investor yang membeli Subprime Mortgage dimana end-user sensitive terhadap volatilitas interest rate. Risiko kedua adalah service performance risk, dimana seandainya bank mengalami kegagalan untuk melakukan fungsi ini sebagai servicer agent maka risiko ini akan muncul. Risiko ketiga adalah prepayment risk, dimana tak selamanya para debitur membayar pokok dengan jumlah dan jadual yang telah ditentukan atau disepakati. Sering terjadi dimana para debitur, karena memiliki cashflow cukup besar membayar sejumlah tagihan yang lebih cepat dan lebih besar. Hal ini menimbulkan risiko bagi investor instrumen mortgage. Risiko keempat, country risk, yang timbul oleh karena beberapa faktor seperti tingkat inflasi dan suku bunga yang tinggi, tingkat pengangguran yang naik, perubahan undang-undang dalam perpajakan, peristiwa-peristiwa politik yang terjadi dalam suatu negara yang dapat mempengaruhi perekonomian ataupun indikator ekonomi dalam suatu negara.


Penutup

Akhir dari paparan diatas, meskipun sampai saat ini mortage belum menjadi bisnis yang trend untuk dikembangkan di Indonesia, khususnya oleh perbankan, menurut hemat penulis, dengan melihat potensi dan prospek pengembangan mortage back securities sebagaimana dikemukakan diatas, peluang untuk berkembang cukup besar. Kenapa? Ada kesamaan karakteristik bahwa pada saat mortage berkembang di AS adalah pada saat booming kredit property seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, yang ditandai dengan menurunnya interest rate dan membaiknya sector riil. Hal ini tentunya dengan asumsi bahwa regulasi dari otoritas financial dan moneter juga mendukung untuk berkembangnya mortgage di Indonesia. Dan pada saat hal ini berkembang, tentu penting bagi berbagai kalangan, baik itu investor, Bank, maupun issuer untuk memperhatikan berbagai hal, terutama belajar dan mengambil hikmah dari kasus Subprime Mortgage di Amerika Serikat yang berdampak sangat besar pada bursa financial dunia. Karena seandainya hal ini tidak diperhatikan, maka persoalan-persoalan besar yang dihadapi oleh makroekonomi ini dikhawatirkan akan dapat memicu permasalahan lain yang lebih besar, sebagaimana pelajaran yang dapat dipetik dari krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997. Semoga, kita berharap hari ke depan akan selalu lebih baik dari hari ini.

***

Artikel diatas telah dimuat pada majalah Bank dan Manajemen edisi Desember 2007, yang ditulis oleh salah seorang praktisi perbankan yang bekerja di salah satu bank BUMN di Jakarta, M. Taufiq Elrahman, SE, MM.

Referensi

Frank J. Fabozzi, Fixed Income Analysis for the Chartered Financial Analyst Program, Association for Investment Management and Research, Pennsylvania 2000. Mark Fisher and Zoe Shaw, Securitisation for Issuer, Arrangers and Investors, second edition, Euromoney institutional investor, London, 2003.
Peter S. Rose, Bank Mangement and Financial Services, International Edition, sixth edition, McGraw-Hill, New York, 2005.
Rick Watson and Jeremy Carter, Asset Securitisation and Synthetic Structures, Innovation in the European Credit Markets, Euromoney institutional investor Plc, London, 2006.
Zoe Shaw, Practical Introduction to Securitization, Euromoney/DC Gardner Workbook, London, 2003.
Investor Daily, edisi Agustus 2007.
[2] Http://www.absresearch.com/