Selasa, 15 Januari 2008

Quo Vadis Film Indonesia?

Selama ini saya sangat jarang mau merelakan diri, meluangkan waktu untuk duduk manis sembari makan pop corn di bangku bioskop, hanya sekadar untuk melihat film Indonesia. Pada akhirnya, dimulai dari 2006 itulah, saat saya iseng-iseng mencoba untuk melihat film Indonesia, berjudul Ekskul. Setelah itu beberapa kali saya melihat film Indonesia, yang memang harus saya akui bahwa beberapa produser lokal telah menawarkan film-film lokal yang cukup kreatif dan berani untuk menampilkan tema atau permasalahan yang dulunya dianggap tabu, dengan dialog-dialog yang cukup cerdas dan alur cerita yang menarik. Juga ada pesan moral yang mau disampaikan kepada penonton. Beberapa film yang sempat saya nikmati bertema tentang persahabatan, kekeluargaan, dan tema-tema sosial. Dan harus diakui bahwa perfilman nasional pada tahun-tahun terakhir mengalami perkembangan pesat. Film-film lokal banyak menghiasi jaringan biskop twenty-one, belum lagi juga sinetron-sinetron di berbagai channel televisi, telah membuat orang merelakan diri untuk duduk setia di depan televisi, sampai berjam-jam setiap hari, untuk tidak melewatkan satu episode pun dari sinetron-sinetron favorit mereka. Film-film bioskop keluaran produser lokal juga mengalami lonjakan jumlah penonton, yang rela untuk mengantri demi mendapatkan selembar tiket untuk mendapatkan pengalaman mendebarkan hati dalam gedung bioskop, yang tentu saja tidak puas dengan hanya menikmati dvd bajakan yang selalu beredar bersamaan dengan beredarnya film di bioskop.

Nah, beberapa waktu lalu, sepulang kantor, saya sengaja mengajak si kecil Avisena (8) dan Syifa (6) untuk nonton film bioskop di Mega Mall Bekasi, yang baru saja soft opening Studio XXI. Rencananya, kita mau lihat film Hollywood, yang aku sendiri udah lupa judulnya. Sampai di depan loket, saat saya sudah mengeluarkan uang untuk membayar tiket, dua anak saya langsung menyatakan protes dan seolah merasa memiliki hak veto untuk memutuskan film apa yang seharusnya kita lihat. “Papa, kami keberatan melihat film barat, dan ingin lihat film yang itu”, kata Avisena. “Iya Papa. Kami maunya nonton yang itu, Miracle, pasti bagus deh. Lihat aja penontonnya banyak dan antriannya panjang”, tambah adiknya yang terus berusaha mendesak dan menyakinkan saya. Setelah beberapa waktu berdebat di depan kasir yang dengan sabar menunggu kami untuk memutuskan, akhirnya dengan terpaksa saya memenuhi keinginan mereka. Duh, aku ingat ini untuk yang kesekian kalinya saya mengalah untuk mereka. Mereka selalu aktif untuk memilih dan merekomendasikan film kesukaan mereka, seolah film itu akan menjanjikan cerita dan pengalaman menonton yang lebih menegangkan dan mengasyikkan bagi mereka. Kejadian ini seperti 2 minggu yang lalu, saat kami sempat berdebat untuk memutuskan film apa yang akan kami lihat, sampai akhirnya saya terpaksa mengalah untuk melihat film, kalau tidak salah berjudul “Enam”, yang menurutku sangat monoton alur ceritanya, komunikasinya kurang cerdas, dan namanya juga film horror, tentunya tidak masuk akal dan yang tidak ilmiah. Barangkali kalo saya boleh menebak, yang menjadi fokus dari produser --tentu saja tidak semuanya!-- adalah bagaimana membuat film dengan biaya serendah mungkin, dibuat judul seseram mungkin untuk menarik penonton sebanyak mungkin, dan meraup rupiah sebanyak-banyaknya. Dan saat ini, kembali saya terpaksa mengalah untuk kebahagiaan mereka untuk menikmati film yang diinginkannya.

Film yang kami nonton kali ini adalah Miracle. Film ini di garap oleh sutradara Helfi Kardit, yang dikenal sebagai sutradara yang berpengalaman menggarap beberapa film yang laris manis dengan animo penonton yang relatif tinggi, misalnya film “Lantai 13” dan “Bangku Kosong”. Film ini bercerita tentang seorang remaja SMU yang memimpikan kecelakaan saat mau beragkat acara piknik bersama teman-teman sekolahnya, sehingga dia memaksakan untuk turun dari bis, dan diikuti beberapa teman dan gurunya. Ternyata sesuai dengan impian dan bayangannya, bis tersebut benar-benar mengalami kecelakaan. Dan, selanjutnya sesuai dengan pesan mimpinya, si gadis mengetahui bahwa urutan kematiannya adalah sesuai dengan urutan abjad “Kita Mati”, dimana sang Malaikat Maut bertugas mencabut nyata beberapa siswa yang selamat karena turun dari bis tersebut, dimana seharusnya mereka ikut dalam kecelakaan kalau bukan karena dipengaruhi oleh si gadis. Akhirnya beberapa remaja yang tersisa, memutuskan untuk melawan kehendak maut yang mengancam mereka.

Sesungguhnya, 10 menit pertama dari film ini langsung mengingatkan saya pada tiga sekual film Final Destination. Sungguh, film Miracle ini nyaris, ris, ris, ris...., mirip, rip, rip, rip … sama dengan Hollywood tersebut. Tentu saja, meski meniru, kalau tidak dapat dikatakan sebagai mengadopsi bulat-bulat, baik ide maupun alur ceritanya, namun demikian tingkat kualitas film, dialog, dan actionnya sangat jauh bedanya. Misalnya, adegan kecelakaan, pada film Final Destination disajikan atraksi kecelakaan beruntun beberapa mobil, truk, motor, dengan adegan yang cukup mendebarkan yang tentu saja membutuhkan teknik dan biaya produksi yang cukup tinggi. Sedangkan pada film Miracle, adegan kecelakaan tersebut cukup diketahui dari berita seseorang yang disampaikan melalui handphone bahwa bis sekolah mengalami kecelakaan. Betapa jauh bedanya. Itu hanya salah satu perbedaan kualitas produksinya, dan tentu saja masih banyak lagi lainnya.

Coba sekarang kita bandingkan ide dan alur cerita film Miracle ini dengan sekuel film Final Destination. Pada sekuel pertama Final Destination 1, awal ceritanya setelah menaiki pesawat penerbangan 180 yang akan terbang dalam acara kunjungan kelas ke Paris, Alex Browning mendapat penglihatan bahwa pesawat yang dinaikinya akan meledak tidak lama setelah lepas landas. Alex berusaha untuk membatalkan penerbangan pesawat, dan itu sempat membuat keributan di pesawat. Setelah keributan itu, akhirnya dia dikeluarkan dari pesawat dengan salah satu gurunya, dan beberapa siswa lain yang juga membatalkan pemberangkatan karena diperintah untuk menjaganya. Hanya beberapa saat setelah pesawat lepas landas mereka menyaksikan pesawat yang sebelumnya mereka tumpangi itu meledak, menewaskan seluruh penumpang yang berada di pesawat. Sedangkan mereka yang selamat, awalnya lolos dari kematian, namun kehidupan mereka hanya tinggal sebentar, rangkaian kematian misterius yang mengerikan mulai menghantui mereka.

Selanjutnya pada Film Final Destination 2, film ini dimulai setelah setahun sejak ledakan tragis Penerbangan pesawat. Ketika sedang pergi berlibur, Kimberly Corman bepergian dengan beberapa temannya temannya, mendapatkan penglihatan tentang
tabrakan di Jalan Tol yang mengerikan ketika masih di lampu merah masuk tol. Dia menyebabkan keributan ketika dia menghalangi lalu lintas, namun ternyata pertanda itu terbukti benar. Beberapa orang yang selamat karena keribuktan dengan Kimberly, satu persatu meninggal dengan tragis. Kim memulai memberitahu setiap orang tentang penglihatan anehnya. Mereka semua meninggalkan, namun seorang yang selamat tewas dengan misterius, dan Kim mulai mencurigai bahwa penglihatannya benar-benar sesuatu yang berlebihan. Kim berusaha memecahkan rahasia tanda-tanda maut yang mengancam dia dan orang-orang yang sempat selamat dari kecelakaan tersebut. Akhirnya beberapa orang yang tersisa sepakat untuk saling menjaga agar tetap selamat.

Pada sekuel terakhirnya, Final Destination 3, film ini menceritakan tentang suatu "penglihatan" akan kematian, sama seperti film-film Final Destination sebelumnya. Wendy mendapat penglihatan melalui kamera digitalnya, kamera digital Panasonic yang seharusnya berguna untuk keperluan foto buku tahunan, malah membantu ia mengetahui cara-cara kematian teman-temanya. Misalnya dia memotret wahana permainan “High Dive” yang ternyata dalam penglihatan dia menjadi “High Die”. Sebelum menaiki roller coaster, Wendy mengalami penglihatan bahwa akan terjadi kecelakaan roller coaster yang akan mematikan dia bersama teman-temannya. Tapi sebelum Wendy meninggal dalam penglihatannya tersebut, ia langsung tersadar dan menyuruh petugas membuka alat pengamannya agar ia bisa keluar. Petugas pun memperbolehkan Wendy keluar dari roller coaster, dan diikuti beberapa temannya yang pada akhirnya selamat dari kecelakaan maut tersebut. Akhir ceritanya, sama dengan sekuel sebelumnya, Wendy berhasil mengetahui rencana maut yang akan membunuh satu persatu teman-temannya dan dia yang seharusnya mati dalam kecelakaan tersebut.

Yang ingin saya sampaikan, kebanyakan tema film-film laris di Indonesia saat ini, dan mungkin entah sampai berapa tahun kedepan, adalah film-film bertema horror. Sutradara dan produser film selalu berkilah bahwa mereka tentu saja akan menjual film yang based on market agar diterima publik. Namun, benarkah bahwa minat dan keinginan itu muncul dari masyakarat ataukah memang dikondisikan oleh produser sendiri? Menurut saya, keduanya memiliki kontribusi yang membuat hal ini terjadi. Produser secara massif menawarkan film-film seperti ini dari berbagai lini, baik di televisi maupun layer lebar, dan dimana-mana masyarakat disuguhi oleh hal-hal seperti ini, yang pada akhirnya membentuk persepsi dan minat masyarakat. Sampai pada posisi ini maka produser akan dengan mudahnya masuk, menawarkan film-film yang sebenarnya ceritanya diulang-ulang, dan beberapa produsen malah mencoba untuk mengadopsi film-film dari luar secara bulat-bulat seperti film Miracle ini. Dan seperti biasa, masyarakat berduyun-duyun antri untuk mendapatkan tiket film tersebut. Semoga, di masa mendatang film Indonesia akan berada pada level kualitas yang semakin meningkat, yang mencerdaskan masyarakat, bukan sekadar melakukan pembodohan dan mempersepsikan film sebagai sekadar industri yang dapat meraup keuntungan setinggi-tingginya tanpa memikirkan pesan dan efek sosial serta psikologik pada penontonnya. Semoga.