Senin, 31 Maret 2008

Pelajaran dari sebuah Novel


Dua hari ini menamatkan dua buah novel yang sedang mega best-seller saat ini, yakni Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Aku agak terlambat membaca novel-novel ini, yang terus terang aku baca setelah banyak orang membicarakan film dan novelnya yang laris manis. Selama ini kalau ke bookstore aku jarang sekali meu menengok counter buku-buku novel Indonesia.

Saat membaca Ayat-ayat Cinta, --yang saat ini layar lebarnya lagi puncaknya, menyedot perhatian publik dan mencatat rekon penonton bioskop di Indonesia--, terus terang aku tidak terlalu terkesan dengan film maupun novel ini. Ceritanya terlalu terfokus pada satu orang, yakni Fahri, yang demikian perfect menampilkan karakter dan performanya. Seorang yang cerdas, alim, berprestasi, tampan, punya social relationship yang luas, akademis, tidak pernah bermasalah dengan keuangan, dicintai teman-temannya dan tentu saja, dipuja oleh banyak wanita. Jalan hidupnya begitu lurus, dan hanya sedikit di ujung cerita menghadapi masalah karena difitnah seseorang, lalu berakhir dengan happy ending, bersama dua orang isteri yang cantik dan kaya.

Justru pada novel satunya yang tidak sepopuler Ayat-ayat Cinta diatas, yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih, terus terang saja aku sangat terkesan. Beberapa kalil aku berhenti membaca beberapa saat karena menghayati alur cerita dan menikmati indahnya bait-bait tulisan dari pengarangnya, Habiburrahman El Shirazy. Tokoh dalam cerita, Azzam, adalah seorang mahasiswa di Al Azhar University Cairo, yang selama masa kuliahnya tidak bisa dikategorikan sebagai mahasiswa gaul dan populer, tidak dikenal sebagai mahasiswa yang dibanggakan prestasi akademisnya maupun prestasinya yang lain. Sembilan tahun waktu yang dihabiskan untuk kuliah di Mesir, dan tidak lulus-lulus untuk sekadar S1. Nilainya pas-pasan kecuali di tahun pertama, saat bapaknya masih hidup. Berubahnya orientasi hidup dan kuliah dia terjadi pada tahun pertama dia kuliah, saat bapaknya meninggal dunia, dan setelah itu setiap harinya disibukkan dengan aktivitas bisnisnya membuat bakso dan tempe.

Terus terang saja, ada banyak aspek latar belakang cerita yang bagiku sangat menyentuh, dan terus terang buku ini telah mengingatkanku pada suatu keluarga besar yang kukagumi dalam upayanya untuk meletakkan dasar-dasar dan fondasi bagi generasi-generasi turunan mereka, agar bisa bermanfaat bagi sebanyak mungkin umat. Ada beberapa benang merah yang nyambung dalam fondasi orientasi hidup dan karakter cerita pada novel diatas dengan beliau-beliau yang kusebutkan diatas. Mereka, para orangtuanya yang telah memberikan contoh teladan yang baik bagi anak-anak dan cucu-cucunya, yang mestinya hal ini dapat memacu semangat bagi anak dan cucu-cucu mereka untuk melakukan refleksi, napak tilas dan upaya meneruskan jejak langkah yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu mereka dalam konteks kekinian, yang tentu saja jauh lebih kompleks. Aku ingin sedikit cerita tentang keluarga yang kukenal secara sekilas itu, yakni Bani Mukhtar dan Bani Musthofa maupun beberapa Bani diatasnya lagi, semisal Bani Nur Muhammad. Mereka cukup populer untuk kota dan komunitas kecilku di kota kelahiranku yakni Wonogiri. Tidak ada maksud apa-apa saat aku menceritakan tentang mereka, melainkan aku hanya ingin agar dengan cerita ini kami akan mengingat mereka, mengingat upaya dan jerih payah mereka, mengingat pesan-pesan moral mereka, dan meneruskan jejak langkah mereka.

Masyarakat di kota kecil kami telah mengenal keluarga besar itu yang terdiri dari keluarga dimana terdiri dari banyak orang yang menonjol tingkat keshalihannya, para kyai, ustadz, para alim ulama yang berada pada barisan depan dalam menyebarkan Islam dan dakwah, dari dulu sampai sekarang di daerah kami. Di tiap masa generasi keluarganya, seolah tidak pernah habis munculnya orang-orang yang masuk dalam kategori orang shalih, kyai ataupun alim ulama, ustadz muda, pemuka agama dan penyebar agama Islam. Aku ingat, pernah suatu ketika mendampingi salah satu dari mereka, saat melakukan ceramah-ceramah ke segenap pelosok terpencil, tiap hari selama sebulan penuh saat ramadhan. Beberapa kali aku diajak beliau untuk menempuh perjalanan panjang keluar masuk hutan, mengeberangi sungai untuk sekadar memberikan ceramah yang membangun kehidupan keagamaan di tiap desa yang jauh dari peradaban. Beliau sempat intensif untuk membangun sebuah masjid besar di sebuah desa terpencil yang harus dicapai dengan menembus hutan. Saat-saat mendampingi beliau, kurasakan betapa masyarakat terhalang oleh sungai dan tidak ada jalan darat untuk menuju desa tersebut. Beliau sangat dicintai oleh masyarakat.

Kesamaan background cerita Ketika Cinta Bertasbih dengan keluarga itu, pertama adanya nuansa bahwa pendidikan merupakan hal yang utama. Pendidikan tentu saja bisa pendidikan agama maupun pendidikan umum. Untuk keluarga itu, konteksi saat ini mungkin dapat dikatakan bahwa 80% lebih banyak berkecimpung dalam pendidikan umum. Ini agak berbeda dengan generasi sebelumnya dimana lebih banyak yang menamatkan pada sekolah-sekolah agama. Masyarakat mengenal bahwa keluarga itu sangat memperhatikan dan peduli dengan pendidikan, dan karena orang-orang tuanya banyak yang shalih dan selalu mendoakan anak-anaknya maka banyak yang berhasil dalam meniti jenjang pendidikannya. Yang saya katakan jelas, karir pendidikan, bukannya karir pekerjaan atau kekayaan. Yang kutahu, bukan meniti karir pencapaian materi pada tingkat-tingkat tertentu, karena memang sejak kecil anak-anak mereka dipacu dan dididik untuk mengejar ilmu, menjadi orang yang berilmu, menjadi orang yang alim dan shalih. Bukan dididik dan digadang-gadang untuk menjadi orang yang kaya kelak. Mengapa? Bukankah kekayaan apabila digunakan untuk beribadah akan menghasilkan efek multiplier yang besar dan tingkat kualitas ibadah yang lebih tinggi? Mungkin iya, tapi kupikir, pertimbangan orang-orang tua kami adalah, pertama, karena kalau orang berilmu, orang alim maka biasanya –meski tidak selalu begitu—akan diikuti oleh faktor kemudahan dalam mendapatkan financial. Kedua, kalau kekayaan dijadikan sebagai panglima dan tolok ukur maka akan membuat orang cenderung melakukan apa saja untuk mendapatkan standar kekayaan yang ada pada ekspektasi dan angannya yang diciptakan oleh bawah sadar seseorang ketika hal itu menjadi hal yang dijadikan standar umum bagi lingkungannya. Makanya yang dijadikan standar bagi lingkungan keluarga itu adalah pentingnya upaya belajar dan menempuh pendidikan semaksimal mungkin. Ketiga, mungkin kalau seseorang telah mencapai tingkat kekayaan yang tinggi dimata masyarakat, maka sesungguhnya hal tersebut akan lebih menjadikan itu sebagai ujian. Dan terkadang manusia justru gagal ketika diuji oleh kekayaan, kecuali orang –orang yang tidak sekadar mencari materi, melainkan menjadikan materi itu hanya sekadar merupakan implikasi dari hal lain yang jadi orientasi hidupnya. Dan materi sebagai tools untuk kenyamanan beribadahnya. Kalau tidak, ya itu tadi, seringkali orang justru gagal diuji dengan kekayaan materi. Karena, dari jaman Adam sampai kapanpun, ini adalah salah satu godaan duniawi yang memang indah namun bisa menyesatkan jalan orang. Namun sekali lagi, tentu saja orang-orang tua mereka bukanlah orang yang mengabaikan materi atau kesejahteraan. Mereka adalah oramg-orang yang khusysuk dalam beribadah dan sekaligus tekun dan kerja keras dalam bekerja.

Kembali ke novel diatas, ada kesamaan novel tersebut dengan keluarga itu, yakni adanya nuansa pesantren yang ada dalam cerita tersebut, dimana pada akhirnya tokoh utama cerita, yakni Azzam, akhirnya menikah dengan Anna, putri seorang tokoh Pengasuh Pesantren terkenal di Klaten. Dunia pesantren bagi keluarga itu juga adalah suatu komunitas yang tidak asing.

Kesamaan ketiga bahwa tokohnya terhimpit dalam tuntutan finansial karena saat di tahun pertama kuliah di Al Azhar University, ayah Azzam meninggal, sehingga hal tersebut sangat mengubah jalan hidup Azzam, yang semula konsentrasi pada kuliahnya menjadi ditambah pada keharusan peran untuk menyelamatkan masa depan keluarga dan adik-adiknya dengan bekerja. Dan hal itu menumbuhkan jiwa enterpreneurship pada Azzam, yang mau tidak mau membawa implikasi pada kuliahnya yang menjadi mahasiswa abadi. Saat itu teman-teman seangkatannya sudah pada kembali ke tanah air, kecuali yang meneruskan S2, Azzam tidak pernah mengeluh dan sungkan harus memeras keringat demi pendidikan dan masa depan adik-adiknya. Ini mirip dengan nuansa pada keluarga itu dimana anak-anak mereka disamping harus kuliah, mengejar terget nilai tertentu, juga harus berpikir bagaimana harus survive dalam proses pendidikannya. Mereka kebanyakan harus nyambi bekerja apapun untuk menghasilkan uang karena mepetnya uang bulanan yang dikirimkan oleh orangtua mereka. Mereka saling bantu antarsaudara. Kakak yang telah lulus atau memiliki likuiditas yang lebih baik membantu adik-adiknya. Tidak jarang hal itu membawa konsekuensi lamanya waktu studi yang harus mereka tempuh karena bercabangnya pikiran dan aktivitas mereka. Itulah proses pembelajaran yang riil tentang kehidupan, yang niscaya akan bermanfaat bagi mereka kelak.

Kesamaan selanjutnya yang juga menyentuh, adalah bahwa Azzam berasal dari Sraten Solo. Di Solo, nyaris tidak ada yang tidak kenal dengan keluarga itu yang memang tinggal di Sraten. Salah satu dari mereka pada generasi yang lalu telah diabadikan menjadi nama jalan di daerah itu. Ada pesantren informal keluarga besar mereka yang sampai sekarang masih eksis, yang sering disebut sebagai pesasntren Sraten. Banyak orang-orang terkenal yang dulunya pernah mondok di pesantren ini. Suatu ketika aku pernah berkunjung ke rumah salah satu keuarga itu, yang kebetulan anaknya adalah teman kantorku, mas Yusuf Kurniawan. Keluarganya adalah bagian dari keluarga besar di Sraten itu. Ada suatu momentum yang mirip dengan salah satu moment pada novel diatas. Waktu itu, ibundanya mas Yusuf Kurniawan itu sempat mengeluhkan dan mengeluarkan uneg-uneg padaku ketika salah seorang teman kami, entah tidak sholat atau terlambat sholat, yang jelas bangunnya kesiangan. “Mas, aku kok kurang suka dengan teman anakku itu. Namanya sih Islami, tapi kok bangun pagi pada saat matahari sudah terbit. Lalu bagaimana dengan sholat Shubuhnya..?”. Ini persis dengan keluhan Ibunya Azzam, yang terus terang mengungkapkan ketidaksukaannya saat Azzam akan dinikahkan dengan teman adiknya, Husna. Kenapa? Karena di pagi-pagi buta, Ibunya Azzam menjumpai bahwa teman Husna tersebut tidur lagi setelah sholat Shubuh. Kata Ibunya,”Di rumah orang saja bisa tidur habis sholat shubuh, bagaimana kalau di rumah sendiri”. Membaca kisah Azzam yang ditinggal wafat oleh ayahnya saat tahun pertama kuliah, aku jadi teringat bahwa temanku Yusuf ini juga juga ditinggal wafat oleh ayahandanya, seorang dosen di UNS.

Yah, sekali lagi tidak ada maksud apa-apa saat aku cerita mengenai kemiripan-kemiripan novel dengan apa yang aku kemukakan diatas, kecuali sekadar untuk menjadikan ini sebagai salah satu pelajaran bahwa banyak hal yang bisa aku petik hikmahnya dari novel diatas. Dan karakter-karakter yang dibangun pada novel diatas bukanlah sesuatu yang mengawang-awang dan tidak nyata, melainkan bisa jadi riil ada di sekitar kita. Dan kita bisa belajar dari mereka.

Selasa, 15 Januari 2008

Quo Vadis Film Indonesia?

Selama ini saya sangat jarang mau merelakan diri, meluangkan waktu untuk duduk manis sembari makan pop corn di bangku bioskop, hanya sekadar untuk melihat film Indonesia. Pada akhirnya, dimulai dari 2006 itulah, saat saya iseng-iseng mencoba untuk melihat film Indonesia, berjudul Ekskul. Setelah itu beberapa kali saya melihat film Indonesia, yang memang harus saya akui bahwa beberapa produser lokal telah menawarkan film-film lokal yang cukup kreatif dan berani untuk menampilkan tema atau permasalahan yang dulunya dianggap tabu, dengan dialog-dialog yang cukup cerdas dan alur cerita yang menarik. Juga ada pesan moral yang mau disampaikan kepada penonton. Beberapa film yang sempat saya nikmati bertema tentang persahabatan, kekeluargaan, dan tema-tema sosial. Dan harus diakui bahwa perfilman nasional pada tahun-tahun terakhir mengalami perkembangan pesat. Film-film lokal banyak menghiasi jaringan biskop twenty-one, belum lagi juga sinetron-sinetron di berbagai channel televisi, telah membuat orang merelakan diri untuk duduk setia di depan televisi, sampai berjam-jam setiap hari, untuk tidak melewatkan satu episode pun dari sinetron-sinetron favorit mereka. Film-film bioskop keluaran produser lokal juga mengalami lonjakan jumlah penonton, yang rela untuk mengantri demi mendapatkan selembar tiket untuk mendapatkan pengalaman mendebarkan hati dalam gedung bioskop, yang tentu saja tidak puas dengan hanya menikmati dvd bajakan yang selalu beredar bersamaan dengan beredarnya film di bioskop.

Nah, beberapa waktu lalu, sepulang kantor, saya sengaja mengajak si kecil Avisena (8) dan Syifa (6) untuk nonton film bioskop di Mega Mall Bekasi, yang baru saja soft opening Studio XXI. Rencananya, kita mau lihat film Hollywood, yang aku sendiri udah lupa judulnya. Sampai di depan loket, saat saya sudah mengeluarkan uang untuk membayar tiket, dua anak saya langsung menyatakan protes dan seolah merasa memiliki hak veto untuk memutuskan film apa yang seharusnya kita lihat. “Papa, kami keberatan melihat film barat, dan ingin lihat film yang itu”, kata Avisena. “Iya Papa. Kami maunya nonton yang itu, Miracle, pasti bagus deh. Lihat aja penontonnya banyak dan antriannya panjang”, tambah adiknya yang terus berusaha mendesak dan menyakinkan saya. Setelah beberapa waktu berdebat di depan kasir yang dengan sabar menunggu kami untuk memutuskan, akhirnya dengan terpaksa saya memenuhi keinginan mereka. Duh, aku ingat ini untuk yang kesekian kalinya saya mengalah untuk mereka. Mereka selalu aktif untuk memilih dan merekomendasikan film kesukaan mereka, seolah film itu akan menjanjikan cerita dan pengalaman menonton yang lebih menegangkan dan mengasyikkan bagi mereka. Kejadian ini seperti 2 minggu yang lalu, saat kami sempat berdebat untuk memutuskan film apa yang akan kami lihat, sampai akhirnya saya terpaksa mengalah untuk melihat film, kalau tidak salah berjudul “Enam”, yang menurutku sangat monoton alur ceritanya, komunikasinya kurang cerdas, dan namanya juga film horror, tentunya tidak masuk akal dan yang tidak ilmiah. Barangkali kalo saya boleh menebak, yang menjadi fokus dari produser --tentu saja tidak semuanya!-- adalah bagaimana membuat film dengan biaya serendah mungkin, dibuat judul seseram mungkin untuk menarik penonton sebanyak mungkin, dan meraup rupiah sebanyak-banyaknya. Dan saat ini, kembali saya terpaksa mengalah untuk kebahagiaan mereka untuk menikmati film yang diinginkannya.

Film yang kami nonton kali ini adalah Miracle. Film ini di garap oleh sutradara Helfi Kardit, yang dikenal sebagai sutradara yang berpengalaman menggarap beberapa film yang laris manis dengan animo penonton yang relatif tinggi, misalnya film “Lantai 13” dan “Bangku Kosong”. Film ini bercerita tentang seorang remaja SMU yang memimpikan kecelakaan saat mau beragkat acara piknik bersama teman-teman sekolahnya, sehingga dia memaksakan untuk turun dari bis, dan diikuti beberapa teman dan gurunya. Ternyata sesuai dengan impian dan bayangannya, bis tersebut benar-benar mengalami kecelakaan. Dan, selanjutnya sesuai dengan pesan mimpinya, si gadis mengetahui bahwa urutan kematiannya adalah sesuai dengan urutan abjad “Kita Mati”, dimana sang Malaikat Maut bertugas mencabut nyata beberapa siswa yang selamat karena turun dari bis tersebut, dimana seharusnya mereka ikut dalam kecelakaan kalau bukan karena dipengaruhi oleh si gadis. Akhirnya beberapa remaja yang tersisa, memutuskan untuk melawan kehendak maut yang mengancam mereka.

Sesungguhnya, 10 menit pertama dari film ini langsung mengingatkan saya pada tiga sekual film Final Destination. Sungguh, film Miracle ini nyaris, ris, ris, ris...., mirip, rip, rip, rip … sama dengan Hollywood tersebut. Tentu saja, meski meniru, kalau tidak dapat dikatakan sebagai mengadopsi bulat-bulat, baik ide maupun alur ceritanya, namun demikian tingkat kualitas film, dialog, dan actionnya sangat jauh bedanya. Misalnya, adegan kecelakaan, pada film Final Destination disajikan atraksi kecelakaan beruntun beberapa mobil, truk, motor, dengan adegan yang cukup mendebarkan yang tentu saja membutuhkan teknik dan biaya produksi yang cukup tinggi. Sedangkan pada film Miracle, adegan kecelakaan tersebut cukup diketahui dari berita seseorang yang disampaikan melalui handphone bahwa bis sekolah mengalami kecelakaan. Betapa jauh bedanya. Itu hanya salah satu perbedaan kualitas produksinya, dan tentu saja masih banyak lagi lainnya.

Coba sekarang kita bandingkan ide dan alur cerita film Miracle ini dengan sekuel film Final Destination. Pada sekuel pertama Final Destination 1, awal ceritanya setelah menaiki pesawat penerbangan 180 yang akan terbang dalam acara kunjungan kelas ke Paris, Alex Browning mendapat penglihatan bahwa pesawat yang dinaikinya akan meledak tidak lama setelah lepas landas. Alex berusaha untuk membatalkan penerbangan pesawat, dan itu sempat membuat keributan di pesawat. Setelah keributan itu, akhirnya dia dikeluarkan dari pesawat dengan salah satu gurunya, dan beberapa siswa lain yang juga membatalkan pemberangkatan karena diperintah untuk menjaganya. Hanya beberapa saat setelah pesawat lepas landas mereka menyaksikan pesawat yang sebelumnya mereka tumpangi itu meledak, menewaskan seluruh penumpang yang berada di pesawat. Sedangkan mereka yang selamat, awalnya lolos dari kematian, namun kehidupan mereka hanya tinggal sebentar, rangkaian kematian misterius yang mengerikan mulai menghantui mereka.

Selanjutnya pada Film Final Destination 2, film ini dimulai setelah setahun sejak ledakan tragis Penerbangan pesawat. Ketika sedang pergi berlibur, Kimberly Corman bepergian dengan beberapa temannya temannya, mendapatkan penglihatan tentang
tabrakan di Jalan Tol yang mengerikan ketika masih di lampu merah masuk tol. Dia menyebabkan keributan ketika dia menghalangi lalu lintas, namun ternyata pertanda itu terbukti benar. Beberapa orang yang selamat karena keribuktan dengan Kimberly, satu persatu meninggal dengan tragis. Kim memulai memberitahu setiap orang tentang penglihatan anehnya. Mereka semua meninggalkan, namun seorang yang selamat tewas dengan misterius, dan Kim mulai mencurigai bahwa penglihatannya benar-benar sesuatu yang berlebihan. Kim berusaha memecahkan rahasia tanda-tanda maut yang mengancam dia dan orang-orang yang sempat selamat dari kecelakaan tersebut. Akhirnya beberapa orang yang tersisa sepakat untuk saling menjaga agar tetap selamat.

Pada sekuel terakhirnya, Final Destination 3, film ini menceritakan tentang suatu "penglihatan" akan kematian, sama seperti film-film Final Destination sebelumnya. Wendy mendapat penglihatan melalui kamera digitalnya, kamera digital Panasonic yang seharusnya berguna untuk keperluan foto buku tahunan, malah membantu ia mengetahui cara-cara kematian teman-temanya. Misalnya dia memotret wahana permainan “High Dive” yang ternyata dalam penglihatan dia menjadi “High Die”. Sebelum menaiki roller coaster, Wendy mengalami penglihatan bahwa akan terjadi kecelakaan roller coaster yang akan mematikan dia bersama teman-temannya. Tapi sebelum Wendy meninggal dalam penglihatannya tersebut, ia langsung tersadar dan menyuruh petugas membuka alat pengamannya agar ia bisa keluar. Petugas pun memperbolehkan Wendy keluar dari roller coaster, dan diikuti beberapa temannya yang pada akhirnya selamat dari kecelakaan maut tersebut. Akhir ceritanya, sama dengan sekuel sebelumnya, Wendy berhasil mengetahui rencana maut yang akan membunuh satu persatu teman-temannya dan dia yang seharusnya mati dalam kecelakaan tersebut.

Yang ingin saya sampaikan, kebanyakan tema film-film laris di Indonesia saat ini, dan mungkin entah sampai berapa tahun kedepan, adalah film-film bertema horror. Sutradara dan produser film selalu berkilah bahwa mereka tentu saja akan menjual film yang based on market agar diterima publik. Namun, benarkah bahwa minat dan keinginan itu muncul dari masyakarat ataukah memang dikondisikan oleh produser sendiri? Menurut saya, keduanya memiliki kontribusi yang membuat hal ini terjadi. Produser secara massif menawarkan film-film seperti ini dari berbagai lini, baik di televisi maupun layer lebar, dan dimana-mana masyarakat disuguhi oleh hal-hal seperti ini, yang pada akhirnya membentuk persepsi dan minat masyarakat. Sampai pada posisi ini maka produser akan dengan mudahnya masuk, menawarkan film-film yang sebenarnya ceritanya diulang-ulang, dan beberapa produsen malah mencoba untuk mengadopsi film-film dari luar secara bulat-bulat seperti film Miracle ini. Dan seperti biasa, masyarakat berduyun-duyun antri untuk mendapatkan tiket film tersebut. Semoga, di masa mendatang film Indonesia akan berada pada level kualitas yang semakin meningkat, yang mencerdaskan masyarakat, bukan sekadar melakukan pembodohan dan mempersepsikan film sebagai sekadar industri yang dapat meraup keuntungan setinggi-tingginya tanpa memikirkan pesan dan efek sosial serta psikologik pada penontonnya. Semoga.