Senin, 03 September 2007

Keretaapi Indonesia terkena kutukan?


Dalam setengah bulan terakhir ini, hampir di semua headline koran di Indonesia memuat peristiwa tabrakan beruntun keretaapi di Indonesia. Pada awalnya tabrakan antarkeretaapi di Jawa Timur diikuti beberapa hari kemudian terjadi tabrakan antara keretaapi dengan truk yang membawa muatan bahan bakar bensin. Belum selesai drama kecelakaan tersebut, terjadi lagi dalam waktu yang hampir bersamaan, tabrakan antara keretaapi dengan biskota di dekat stasiun Kalibata. Peristiwa kali ini terjadinya pada saat aku ada disana, meski tidak tepat di depan mata kepalaku. Tak urung beberapa peristiwa kecelakaan beruntun ini memaksaku untuk berpikir dan merenung, ada apa yang salah pada pengelolaan transportasi dan lalu lintas di Indonesia, sehingga kecelakaan demi kecelakaan terus terjadi dengan kasus yang nyaris sama, dengan korban yang terus berjatuhan seolah bukan hal yang penting untuk segera dibangun sebuah sistem antisipasi anti kecelakaan. Sebagai contoh, kita lihat bagaimana pengelolaan pengaturan lalu lintas di samping stasiun keretaapi Kalibata. Yang ini aku tak perlu repot2 untuk berpikir lama, karena hampir tiap hari aku melewati jalan tersebut setiap kali aku kuliah Investment Banking di IPMI Business School, --kebetulan aku dapet scholarship kuliah s2 dari kantorku-- yang lokasinya berdekatan dengan peristiwa kecelakaan tersebut. Dari arah TMP Kalibata, kemudian jalan terbelah dua antara flyover yang melintas di atas rel keretaapi, sedangkan jalan yang satunya harus cross dengan rel. Di jalan tersebut para kendaraan umum sejak kopaja, mikrolet, metromini, dan teman2nya, dapat dipasatikan bahwa setelah mereka menyeberangi rel, lantas ngetem untuk mencari penumpang dari stasiun Kalibata, tanpa sedikitpun peduli dengan keselamatan orang lain yang macet dan terjebak di belakangnya. Antrian pun selalu makin panjang, dan jalan yang sempit itupun terasa makin crowded. Aku seringkali juga terjebak di jalan tersebut, terkadang saat terjebak di atas rel dan tiba2 mendadak ada suara raungan sirine sebagai sinyal sebentar lagi ada KRL yang akan lewat.Kejadian tersebut selalu berulang, sehingga terkadang aku berpikir dan membayangkan, suatu saat akan terjadi tabrakan maut di sini. Dalam hatiku berkata, mudah2an perkiraanku salah. Namun dengan perkembangan yang tak kunjung ada perubahan, maka akhirnya terjadilah peristiwa ini, beberapa hari yang lalu. Aku melihat sendiri betapa hancur leburnya biskota itu dihantam KRL Eksekutif yang melaju kencang tanpa sempat mengurangi kecepatan sedikitpun. Siapa yang salah? Sejenak, dalam ketermanguan di tengah hiruk-pikuknya setelah tabrakan tersebut, aku hitung ada sekitar 7-9 rambu2 yang gambarnya sama, larangan berhenti di tempat tersebut. Namun, yah, aturan dan rambu boleh saja dipasang, tapi yang lebih penting adalah bagaimana penegakan hukum dan pembangunan moral dapat diimplementasikan. Renungan ini tentu saja hanyalah sebagian kecil dari pengamatan langsung yang kebetulan saat itu aku sedang di depan peristiwa tabrakan tersebut. Dan tentu saja ada banyak hal lainnya yang lebih bisa menjelaskan kenapa hal ini bisa terjadi. Pada intinya, demikian banyak hal yang mestinya harus dibenahi, dan kalau tidak, kapankah Indonesia akan berubah dengan lebih memberikan penghargaan betapa berharganya kualitas dan harkat kehidupan yang lebih manusiawi, dan lebih memberikan hak2 warganya untuk menikmatinya.

Tidak ada komentar: